Cerita Sex Jeje Dan Jojo Yang Saling Menikmati
Cerita Sex Jeje Dan Jojo Yang Saling Menikmati – Kali ini saya akan menceritakan kisah panas dari seorng dua pasang manusia namanya, Jessica Priandani atau yang akrab dipanggil Jeje, diam dalam kelu. Sibuk jemarinya memainkan cincin, sementara bulat matanya tak lepas menatap ke arah pintu. Jelas, ia terlihat resah. Entah apa atau siapa yang dinantinya. Namun tak berapa lama bibirnya melengkungkan senyum, seorang pria datang dari ujung pintu. Joseph Prasetyo atau Jojo berjalan penuh percaya diri, melewati deretan manusia yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Akhirnya, setelah 20 purnama terpisah jarak dan waktu, pria & wanita itu bertemu. Di sudut sebuah restoran – dengan penerangan redup, dengan sayup alunan jazz yang merdu, dihadapan dua gelas martini- mata mereka beradu.
“Kamu makin cantik,” desis Jojo pelan setelah 30 menit mereka bertukar kabar. Tak mampu Jojo menutupi kekagumannya. Dan Jeje pun tersipu seraya membetulkan gaun tali satunya yang telah lancang meluncur menuruni kulit mulus pundaknya. Namun bukannya menjawab, angan Jeje malah terbang ke masa lalu, sebelum dua puluh purnama yang telah usai itu. Kala mereka baru saja menamatkan kuliahnya. Masih di sebuah restoran dengan redup penerangan walau bukan dikota yang sama.
“Je, Stop being jealous for nonsense!” setengah berteriak kala itu Jojo bicara, suaranya tegas bahkan terdengar seperti petir saja. Mengagetkan beberapa pengunjung terlebih lagi mengacaukan air muka Jeje. Kata-kata itu tajam. Menyisakan tanya dalam hati.
Bimbang merayapi hati Jeje, ia tahu dengan pasti hati lelaki itu untuknya… Teringat ribuan menit yang terpakai untuk bicara, untuk berbagi rasa juga cerita. Mulai dari cerita serius tentang membuat CV demi masa depan, sharing konyol bagaimana menghabiskan martabak bulan yang kecil-kecil itu, hingga perseteruan musang atau rubah sebagai padanan kata Mozilla Fire Fox atau yang lebih kocak misuh-misuh soal batang pohon yang terdampar di trotoar. Aneh kan, pohon yang benda mati itu dimarahi gara-gara terdampar di trotoar. Lha kalau mau ngomel ya omeli saja itu orang-orang yang meletakkannya disana, pohonnya aja gak ngerti kenapa ia disitu. Dan Jeje hanya terkikik geli kala Jojo misuh gak jelas begitu. Ah, cerita-cerita itu memang indah untuk dikenang, manis untuk diingat. Namun… Jeje heran, dengan begitu banyak yang mereka telah lalui, mengapa lelaki satu ini bisa dengan picik menuduhnya cemburu buta.
Jeje menghela nafas panjang.. diam dalam keheningan, hatinya sakit terbentur keras kepala pria yang ia sayangi itu. Duh Jo, kamu itu kenapa keras kepala sekali? Berkali-kali sudah Jeje berusaha meyakinkan bahwa ia tak cemburu, ia hanya tak mampu menghabiskan waktu tatkala pacarnya ini selesai menggumuli hobby.nya itu. Hobby yang bahkan karena terlampau berharganya diberikan nama seperti manusia. Saking jengkelnya Jeje pun tak mampu memanggil nama-nama para hobby itu, hanya menyebutnya “mereka”. Ya, “mereka” yang tiap hari diakrabi Jojo itu telah membuat Jeje gak nyaman. Tapi sungguh pria ini memang berhati batu, melihat wanita manis yang sering dibisikinya kata sayang itu berlinang air mata, tetap jiwanya tak tergoyahkan. Mungkin, ego lelakinya tertantang hingga enggan mendengar jerit keberatan pasangannya. Atau mungkin, ia merasa lemah kalau sampai menuruti kehendak wanitanya? Entah. Terus saja ia bercengkerama dengan “mereka.” Katanya ia harus netral, harus adil meluangkan waktu, tapi jika memang seorang wanita memiliki kapling khusus dihati, masih mampukah seorang pria bersikap netral? Bukankah memang seharusnya ia ada di pihak gadisnya?
Ingatan itu masih tergambar jelas dalam setiap keping memori Jeje, seperti CD lawas yang terus berputar di play list. Dan sekarang, pria yang dulu memberikan butiran-butiran besar air mata di pipi, duduk manis dihadapannya. Bicara ini-itu seolah tiada rasa bersalah mengandaskan cerita lalu.
Hening merambati malam. Jeje melepas cincin bermata biru dari jari manis dan lagi-lagi memainkanya di atas meja. Kebiasaan buruk Jeje tiap kali merasa gugup. Kebiasaan yang sering memakan korban hilangnya perhiasaan-perhiasaan kecil itu. Malang. Bilah cincin menggelinding dan Jeje pun berusaha menangkap cincin itu sebelum jatuh dari meja. Memaksa Jeje sedikit mencondongkan tubuhnya kedepan dan mempertontonkan sedikit belahan dadanya.
Jojo diam terpaku. Belahan dada dan wangi parfum yang dulu lama diakrabinya tatkala menciumi leher Jeje masuk ke dalam rongga hidungnya. Membangkitkan kenangan lama saat mereka dulu bercumbu di sofa. Ketika dengan suka rela Jeje melepaskan helai demi helai pakaiannya dan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sukses membuat Jojo terpana. Kenangan itu, aroma tubuh itu, lekuk raga itu, menyeruak memenuhi kepala Jojo. Memaksa Jojo menghela nafas dalam, ah, sensasi nikmat itu kembali muncul.
Deras nafsu terlecut menciumi wajah Jeje yang polos, mengecup matanya yang terpejam, melumat bibir mungilnya. Menggigitinya kecil-kecil seraya menyelipkan tarian lidah kedalam rongga mulut yang penuh geligi. Sementara tangan Jojo sibuk mengelus payudara Jeje, pelan saja, namun beringsut ganas seiring ciuman dan nafas yang menderu. Meremasnya kuat hingga Jeje menggelinjang seraya melenguh dan balik tersulut birahi – membalas ganas ciuman Jojo. Lalu lidah Jojo pun beralih, merambati area lain. Menjilati inchi demi inchi kulit leher Jeje yang bersih bagai pualam. Turun kebawah menyesap puting susu yang berwarna merah muda.
Membiarkan puting lembut itu mekar dan menjadi keras karena gigitan di dalam mulut. Dan begitu Jojo mendengar erangan kenikmatan Jeje, maka makin keraslah Jojo menghisap ranum payudara yang menggoda itu. Membawa Jojo dan Jeje ke dimensi lain, dimensi dimana raga mencapai surganya, dimensi kenikmatan! photomemek.com Dada berdetak lebih kencang, nafas memburu menghapus ingatan akan dosa atau segala macam larangan norma. Jeje, dengan wajah pasrah dan tubuh sintal ada dihadapannya. Jojo tak bisa menyia-nyiakan kesempatan itu. Lalu tembang terlarang pun teralun. Dua anak manusia bertukar peluh dan lendir untuk pertama kalinya. Ah, siapa yang dapat lupa pengalaman pertama bercinta?
Cincin biru Jeje beradu dengan gelas bening martini, membawa angan Jojo kembali ke remang restoran, meninggalkan kenangan bercumbu di dalam benak.
“Er.. eh.. Kamu.. eh.. parfummu masih sama… Victoria Secret,” Jojo bicara agak kikuk, berusaha menutupi gugupnya. Sekaligus berusaha menenangkan jagoan dibawah sana yang mulai riwil berontak. Eh, siapa juga coba yang tidak tergoda belahan dada dari payudara yang kenyal kan?
“
Jeje tersenyum, ternyata pria ini masih mengingat detil hidupnya.
“Apa kabarnya “mereka’? Tanya jeje pelan, berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba kaku.
“Ah, “mereka”? Lucu banget sih kamu Je.. Kenapa sih kamu selalu menyebutnya “mereka”? Hahaha. Tawa Jojo membahana. Baginya lucu, sedikit miris sih, kenapa juga perempuan ini ribut, ngambek bahkan nekat pergi meninggalkannya hanya gara-gara hobby yang ia akrabi setiap hari. “Well… tiap malam aku bercengkerama dengan mereka, hingga larut atau kadang dini hari malah. Eh, “mereka” ini kangen kamu lho.. hihihi. Ayolah, jangan musuhi “mereka”. Kenapa sih? Ah, jangan bilang kamu masih keberatan dengan keberadaan “meereka” di hari-hariku?”
Pertanyaan Jojo disambut wajah dingin Jeje. Tak ada senyum, ataupun kata yang terlempar dari bibir mungil yang tersaput pemulas bibir berwarna pink itu. Diamnya Jeje, membuat Jojo sadar bahwa keberatan wanita ini belum berubah. Lalu Jojo pun mengutip kata-kata seorang mantan presiden yang membuat Jeje makin kecewa dan ingin menjauh lagi. “I am not with you,” dingin Jojo bicara, masih dengan suara baritonnya yang seksi. Sebutir besar air mata menetes dan mengalir di pipi Jeje ketika mendengar kata itu. Betapa Jeje ingin membenamkan kepala ke dalam empuknya bantal dan meraung. Jojo telah mematikan tombol “mendengarkan”, juga “empati”. Dan jelas, dari dulu memang ia tak memahami arti kata “relationship.”
“Aku tidak bisa memilih, Je.
Lagi-lagi Jeje diam, namun tangannya bersiap mengemasi tasnya. Lho, siapa yang memintanya memilih? Teriak Jeje dalam hatinya. Jeje tidak meminta apapun! Namun, ketika rasa tidak nyaman itu muncul karena sesuatu yang ada pada diri pria ini dan dengan keras kepalanya hal itu tetap dipertahankan, maka Jeje tahu ada dimana posisinya berada. Ia tak istimewa. Tak lebih penting dari “mereka”.
“Je.. Mau kemana?” tanya Jojo kala Jeje beringsut pergi masih tanpa mengucapkan kata-kata.
“Aku pergi Jo. Tolong jangan cari aku kecuali kau memang telah yakin dimana harus menempatkan aku di dalam hatimu. Panggil aku egois, tapi aku tidak mau ada di posisi kedua, ketiga atau kelima dibelakang “mereka”. Jika bukan yang utama, silahkan kau lupakan aku saja.”
Dan habis sudah penantian 20 purnama itu ditelan kecewa. Dasar lelaki keras kepala! Maki Jeje sambil menyeret hatinya yang luka.
Sementara Jojo bengong, menyesali nasibnya.. Dua puluh purnama , ia dan jagoan dibawah sana meregang rindu. Namun sekarang harapannya pupus sudah, cinta tak didapat, apalagi peluh… Tak bertukar tempat.,,,,,,,,,,,,,,,,